Anggito Abimanyu Ungkap Tiga Tantangan Pertumbuhan Ekonomi 2024-2029

23 Januari 2024 21:10
Penulis: Adiantoro, bisnis
Ketua Departemen Ekonomika dan Bisnis Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada (UGM), Anggito Abimanyu saat menjadi narasumber "Nusantara Economic Oulook Conference (NEO) 2024" bertajuk "Optimism for Indonesia Economy 2024", di East Java Ballroom, Hotel Westin Jakarta, Selasa (23/1/2024).

Sahabat.com - Ketua Departemen Ekonomika dan Bisnis Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada (UGM), Anggito Abimanyu mengungkapkan tiga tantangan dan kebijakan pertumbuhan ekonomi dan pembiayaan pembangunan pada 2024 hingga 2029.

Hal itu disampaikannya saat menjadi narasumber "Nusantara Economic Oulook Conference (NEO) 2024" bertajuk "Optimism for Indonesia Economy 2024", di East Java Ballroom, Hotel Westin Jakarta, Selasa (23/1/2024).

"Pertama dibutuhkan kemampuan pendeteksian dan mitigasi risiko geo-ekonomi global. Jadi kita membutuhkan pemimpin yang bisa melakukan pendeteksian kepada krisis global. Kemampuan dia untuk bisa memproyeksi serta memitigasi krisis," ujar Anggito. 

Kedua, ungkap dia, terkait perlambatan ekonomi diperlukan reindustriasiasi dan reinvestasi. "Pemimpin harus bisa membangun industri atau investasi yang kuat," sambung Anggito.

Ketiga, tambah dia, diperlukan reformasi sektor keuangan publik untuk pembiayaan SDGs. "Dibutuhkan pemimpin yang memiliki kemampuan men-generate pembiayaan SDGS. Kita tidak hanya tumbuh saja tanpa sosial dan lingkungan yang terjaga dengan baik," imbuh Anggito.

Dia juga mengungkapkan risiko global di tengah ketidakpastian. Risiko global yang dihadapi dalam jangka panjang (2 tahun), diantaranya disinformasi, bencana alam dan cuaca ektrem, polarisasi sosial, keamanan siber, dan konflik bersenjata.

"Kalau untuk jangka panjang dalam 10 tahun, risiko yang dihadapi yakni bencana alam dan cuaca ektrem, kegagalan adaptasi perubahan iklim, kekurangan sumberdaya alam, misinformasi dan disinformasi teknologi, serta dampak negatif dari AI (artificial intelligence)," jelasnya.

Sementara risiko untuk Indonesia yang perlu diwaspadai berdasarkan survei WEF, sebut Anggito, yaitu perlambatan ekonomi, bencana alam dan cuaca ekstrem. "Selain itu, ada pula penyakit menular, kekurangan pasokan energi, serta pengangguran," urai Anggito.

Untuk itu, dibutuhkan kemampuan penditeksian dini dan mitigasi risiko ekonomi (dan non ekonomi) global/regional dan nasional dengan melakukan respon kebijakan yang tepat dan cepat.

"Memanfaatkan forum multilateral dan regional; Basel, ASEAN, G20, IMF, ADB, WB dan IsDB. Kemudian, peningkatan koordinasi Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK) dan penguatan manajemen risiko terintegrasi (MRPN). Berikutnya, penguatan kelembagaan BMKG, BSSN, BIN, BNPB, BNPT, PPATK, BASINAS," ucap Anggito.

Diperlukan juga kebijakan "pro-growth/jobs' membangun industri manufaktur (reindustrialisasi). "Pilihan reindustrialisasi seperti broadbase versus picking a winner. Longterm-investment yakni government led (financial, suku bunga, fiscal tools, insentif investasi). Selanjutnya memperluas dan memodifikasi hilirisasi dan green (mining dan pertanian/perkebunan)," terangnya.

Yang tak kalah penting, kata Anggito, reformasi lanjutan pengelolaan sektor keuangan publik atau fiskal untuk SDGS.

"Reformasi organisasi dan kelembagaan kemenkeu (Prioritas Belanja vs Perpajakan/Badan Penerimaan Pajak). Akselerasi Integrasi Data Perpajakan (NPWP-NIK). Selain itu, reformasi belanja K/L, kebijakan subsidi dan bantuan sosial yang tepat sasaran untuk pencapaian sasaran SDGs (Satu Data Indonesia), dan 
pengelolaan pembiayaan APBN untuk kebutuhan defisit yang sesuai dan kerjasama pembiayaan dengan badan usaha (KPBU)," tukas Anggito.

0 Komentar

Berita Terkait

Leave a comment