Sahabat.com - Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global dari 2,7 persen jadi 2,9 persen pada tahun 2023 berkat pembukaan kembali perekonomian Tiongkok.
"Penyebaran COVID-19 yang cepat di Tiongkok menghambat pertumbuhan pada tahun 2022, tetapi pembukaan kembali baru-baru ini telah membuka jalan bagi pemulihan yang lebih cepat dari perkiraan," ungkap Chief Economist and Director Research Department Pierre-Olivier Gourinchas dalam konferensi pers "World Economic Outlook Update" yang dipantau secara daring di Jakarta, Selasa.
Adapun pertumbuhan global diperkirakan mencapai 3,4 persen pada tahun 2022, sementara di tahun 2024 mencapai 3,1 persen.
Di sisi lain, inflasi global diperkirakan turun dari 8,8 persen pada 2022 menjadi 6,6 persen pada 2023 dan 4,3 persen pada 2024, masih di atas tingkat sebelum pandemi yakni pada 2017–2019 di sekitar 3,5 persen.
Ia mengungkapkan kenaikan suku bunga bank sentral untuk melawan inflasi dan perang Rusia di Ukraina terus membebani aktivitas ekonomi.
Dari perkiraan pertumbuhan ekonomi dan inflasi tersebut, keseimbangan risiko tetap mengarah ke risiko penurunan, meski telah termoderasi sejak proyeksi pada Oktober 2022.
Risiko penurunan yakni kemungkinan didorong oleh risiko kesehatan parah di Tiongkok yang dapat menghambat pemulihan, kemungkinan peningkatan perang Rusia di Ukraina, dan pembiayaan global yang lebih ketat bisa memperburuk kesulitan utang.
Selain itu, lanjut Pierre, pasar keuangan juga bisa tiba-tiba berubah sebagai tanggapan atas berita inflasi yang merugikan, sementara fragmentasi geopolitik lebih lanjut dapat menghambat kemajuan ekonomi.
Kendati begitu, terdapat kemungkinan kenaikan dari dorongan yang lebih kuat berkat permintaan yang terpendam di banyak negara atau penurunan inflasi yang lebih cepat.
"Di sebagian besar perekonomian, di tengah krisis biaya hidup, prioritas tetap mencapai disinflasi berkelanjutan. Dengan kondisi moneter yang lebih ketat dan pertumbuhan yang lebih rendah yang berpotensi mempengaruhi stabilitas keuangan dan utang, diperlukan perangkat makroprudensial dan memperkuat kerangka restrukturisasi utang," tuturnya.
Lebih lanjut, kata dia, mempercepat vaksinasi COVID-19 di Tiongkok akan melindungi pemulihan. Dukungan fiskal juga harus lebih baik ditargetkan pada mereka yang paling terkena dampak kenaikan harga pangan dan energi, sehingga langkah-langkah bantuan fiskal yang luas harus ditarik.
Kerja sama multilateral yang lebih kuat pun sangat penting untuk mempertahankan keuntungan dari sistem multilateral berbasis aturan dan untuk memitigasi perubahan iklim dengan membatasi emisi dan meningkatkan investasi hijau.(Ant)
0 Komentar
Raih Antusiasme Pasar, Sukuk ESG BSI Rp9 Triliun atau Oversubscribe Tiga Kali Lipat
Rupiah Tangguh Rp15.635 per Dolar AS, IHSG Loyo ke Level 7.235 pada Rabu (7/2/2024)
Ekonomi Kaltim Tumbuh 6,22 Persen didorong Listrik dan Gas
BPS: Ekonomi NTB Tumbuh 1,8 Persen
Rupiah Awal Pekan Merosot Tertekan Kekhawatiran Menjelang Pilpres 2024
Investasi Pekanbaru Tahun 2023 Capai Rp6,4 Triliun
Dinkes Kota Bengkulu Siapkan Rp17 Miliar untuk Pembangunan RSTG
Rupiah awal Pekan Melemah Jelang Rilis PDB Indonesia 2023
BI: Deflasi di Lampung Akibat Penurunan Harga Sejumlah Komoditas
Rupiah Perkasa Rp15.764 per Dolar AS, IHSG Loyo ke Level 7.201 pada Kamis (1/2/2024)
Rupiah Meningkat Dipengaruhi Data ADP AS Lebih Lemah dari Ekspektasi
BI Optimistis Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 2024 di Atas 5 Persen
Leave a comment