Sahabat.com - Saham-saham di Wall Street beragam pada akhir perdagangan Rabu (Kamis pagi WIB), tertekan oleh momentum kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah AS dengan S&P 500 dan Nasdaq jatuh untuk sesi kedua berturut-turut setelah data manufaktur mengindikasikan inflasi kemungkinan akan tetap tinggi.
Indeks Dow Jones Industrial Average terkerek 5,14 poin atau 0,02 persen, menjadi menetap di 32.661,84 poin. Indeks S&P 500 merosot 18,76 poin atau 0,47 persen, menjadi berakhir di 3.951,39 poin. Indeks Komposit Nasdaq tergelincir 76,06 poin atau 0,66 persen, menjadi ditutup di 11.379,48 poin.
Delapan dari 11 sektor utama S&P 500 berakhir di zona merah, dengan sektor utilitas dan real estat masing-masing melemah 1,72 persen dan 1,49 persen, memimpin penurunan. Sementara itu, sektor energi naik 1,94 persen, menjadikannya kelompok dengan kinerja terbaik.
Kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah AS membebani ekuitas, khususnya saham-saham pertumbuhan.
Imbal hasil pada obligasi pemerintah AS 10-tahun yang jadi acuan naik sekitar 8 basis poin untuk diperdagangkan pada 3,996 persen di akhir perdagangan Rabu (1/3), setelah sempat melampaui 4 persen di awal sesi untuk pertama kalinya sejak November. Imbal hasil pada obligasi pemerintah 2 tahun juga naik.
Di sisi ekonomi, PMI (Indeks Manajer Pembelian) manufaktur AS Februari naik tipis menjadi 47,7 persen dari pembacaan Januari sebesar 47,4 persen, Institute for Supply Management melaporkan pada Rabu (1/3). Para ekonom yang disurvei oleh The Wall Street Journal memperkirakan indeks mencapai total 47,6 persen. Angka di bawah 50 persen mengindikasikan kontraksi di sektor tersebut.
"Anda bisa melihat pasar sedikit memburuk, imbal hasil mulai naik setelah laporan manufaktur ISM Februari. Harga komponen yang dibayar, benar-benar melonjak, mematahkan penurunan harga beruntun selama empat bulan," kata Anthony Saglimbene, kepala strategi pasar di Ameriprise Financial di Troy, Michigan, merujuk pada Indeks Pembayaran Harga Manufaktur ISM yang dipandang sebagai indikator inflasi.
"Itu hanyalah bukti lain yang telah kami lihat selama beberapa minggu terakhir bahwa inflasi tetap lebih kuat daripada yang dipikirkan kebanyakan orang pada Januari," katanya seperti dikutip Reuters, menambahkan kemungkinan The Fed akan menaikkan suku bunga lebih tinggi.
Saglimbene menambahkan pasar obligasi baru-baru ini menunjukkan ada kemungkinan lebih besar Fed dapat memindahkan suku bunga terminal mendekati 6,0 persen.
Ekuitas AS telah berada di bawah tekanan baru-baru ini di tengah prospek kenaikan suku bunga lebih lanjut oleh Federal Reserve guna mengendalikan inflasi yang tetap tinggi. Untuk Februari, Dow turun 4,2 persen, S&P 500 turun 2,6 persen, dan Nasdaq yang padat teknologi turun 1,1 persen.(Ant)
0 Komentar
Raih Antusiasme Pasar, Sukuk ESG BSI Rp9 Triliun atau Oversubscribe Tiga Kali Lipat
Rupiah Tangguh Rp15.635 per Dolar AS, IHSG Loyo ke Level 7.235 pada Rabu (7/2/2024)
Ekonomi Kaltim Tumbuh 6,22 Persen didorong Listrik dan Gas
BPS: Ekonomi NTB Tumbuh 1,8 Persen
Investasi Pekanbaru Tahun 2023 Capai Rp6,4 Triliun
Dinkes Kota Bengkulu Siapkan Rp17 Miliar untuk Pembangunan RSTG
Rupiah awal Pekan Melemah Jelang Rilis PDB Indonesia 2023
BI: Deflasi di Lampung Akibat Penurunan Harga Sejumlah Komoditas
Rupiah Perkasa Rp15.764 per Dolar AS, IHSG Loyo ke Level 7.201 pada Kamis (1/2/2024)
Rupiah Meningkat Dipengaruhi Data ADP AS Lebih Lemah dari Ekspektasi
BI Optimistis Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 2024 di Atas 5 Persen
Leave a comment